Rabu, 17 Juni 2015

MENU BUKA PUASA PALING SEHAT

Menu Berbuka Puasa Paling Sehat adalah :

Menu Berbuka Puasa


Segelas air agak hangat ditambah Kurma

15-20 menit kemudian fresh juice atau buah-buahan segar yang "moderat" seperti pepaya, apel kupas, melon, pear, dll tanpa kulit..
hindari yang agak ekstrim seperti nanas, durian, mangga dan sejenisnya..
30 menit kemudian barulah makan agak besar..
Mengapa ?

Ada 3 alasan utama:
ALASAN 1:
Perut masih kosong dan konsentrasi asam lambung agak tinggi ditandai dengan "aroma" mulut yang berbeda akibat hawa asam lambung yang naik.
Untuk itu perlu "diencerkan" dengan segelas air hangat-hangat kuku. Dan baik untuk sedikit menguras ginjal dan menambah persediaan air tubuh yang telah hilang selama hampir 14 jam

ALASAN 2:
Tubuh perlu asupan energi seketika (instant) yang biasanya didapat dari gula. Oleh karena itu asupan fruktosa (karbohidrat sederhana) dari juice atau buah segar akan langsung mengisi energi kita.
Mengapa bukan gula ?
Karena gula hanya glukosa tanpa nutrisi.

ALASAN 3:
Juice atau buah segar akan 100% manfaatnya bagi tubuh saat diminum atau dimakan dengan perut kosong sama sekali. Karena life enzymenya akan bisa diserap semuanya oleh sistem pencernaan tubuh kita.
Namun tenggang minimal 30 menit untuk ke makan besarnya.
Jangan campur juice atau buah segar dengan gula, kopi, susu atau apa pun. Biarkan juice dan buah masuk secara independen.
Pola Buka Puasa ini sudah merupakan setengah detoksikasi karena lambung betul-betul dalam keadaan kosong dan saluran pencernaan dalam keadaan santai saat mencerna nutrisi dan life enzyme dari juice atau buah segar tersebut

ALASAN 4 :
miracle of sunnah
ditemukan bahwa buah-buahan yang masuk kemulut, yang dikunyah, hancur, digerus dan apalagi ditambah enzim-enzim yang ada di dalam tubuh mengakibatkan makanan tersebut akan segera membusuk dalam waktu kurang lebih 15 menit saja. sementara makanan besar (4 sehat 5 sempurna atau makan nasi seperti biasa) membutuhkan waktu kurang lebih 3-4 jam untuk membusuk. sehingga sangat tidak baik jika memakan makanan besar lalu ditutupi dengan makan buah. karena makanan tersebut akan terkontaminasi dengan makanan yang telah busuk (feses). makan dari itu makan buah sangat baik jika dilakukan sebelum makan besar.

PERSAUDARAAN KARENA POLITIK

Sering memanas dan dapat dipastikan selalu memanas jika perhelatan politik di negeri ini digelar. Terutama Pilpres. Bukan karena memanas karena ada musuh yang menyerang, sehingga harus perang, tetapi karena adu mulut, adu argumen, bahkan adu jotos diantara pendukung dari bakal calon presiden tersebut. Kefanatismean pendukung ada yang normal-normal saja namun ada yang sampai benar-benar fanatik sampai terkadang bahasa lebaynya bisa "mendewakan" calon yang didukungnya.

Disini saya tidak akan menyinggung masalah siapa yang menang dan yang kalah, atau membahas kekurangan masing-masing calon (salah satunya sudah menjadi presiden), atau mengkritik presiden terpilih atau calon presiden tak terpilih. Melainkan ingin berbagi tulisan dari seorang senior yang kami anggap cukup membuka pikiran masyarakat banyak.

Add caption


Persaudaraan Karena Politik

1. Persaudaraan yang tumbuh karena suatu persamaan pilihan politik adalah sesuatu yg juga bisa disyukuri. Karenanya, bisa terjalin keakraban, kegembiraan dan kehangatan dalam sebuah kelompok komunitas interaksi. Ia bisa menjadi perekat sekaligus sebagai pencetus ide- ide atau bentuk keakraban dan interaksi lain berikutnya. Bila demikian, dan hanya demikian adanya, jalankan, lanjutkan.

2. Tetapi BILA persaudaraan karena persamaan politik mengakibatkan lebih rendahnya atau MENGALAHKAN bentuk- bentuk persaudaraan lain yg sebenarnya lebih tinggi dan lebih hakiki, maka persaudaraan politik itu adalah sebuah langkah dan keputusan yang NAIF dan KELIRU. Seberapa lama persamaan pilihan politik itu bertahan? Seberapa lama kepentingan politik itu terus bersama? Kalau itu sudah TIDAK LAGI, maka ia kan HANCUR terpecah terbelah dan mungkin akan lebih SAKIT karenanya. Dan kalaupun kebetulan ia masih terus sama, sesungguhnya persaudaraan karena urusan politik itu adalah SEMU. Ia hanya sebuah CANDU.
Rasa PONGAH, angkuh, suka BERMUSUHAN, MERENDAHKAN orang lain, MENJUDGE org lain, merasa BENAR SENDIRI dan semacamnya adalah sifat dan sikap- sikap yang DEKAT dengan politik/ kekuasaan yang diikat dalam sebuah PERSEKUTUAN yang disebut dengan PERSAUDARAAN POLITIK itu.

3. Boleh- boleh saja, sah- sah saja menyatu dan mengikatkan diri ke dalam persaudaraan politik. Tetapi di atas itu segalanya, jadikanlah kesamaan IMAN, kebaikan AKHLAK, kesamaan sebagai MAKHLUK TUHAN yang saling membutuhkan dan MENGHARGAI serta sisi- sisi kemanusiaan yang HAKIKI menjadi PEREKAT dan PARAMETER untuk tetap menjalin persaudaraan dengan siapapun juga. Karena satu AGAMA, karena satu ALMAMATER, karena satu daerah ASAL, karena BERTETANGGA, karena satu PROFESI dan persamaan lain semacamnya adalah bentuk persaudaraan yang sejatinya LEBIH BAIK tingkatannya dari persamaan dibandingkan karena PILIHAN POLITIK.

4. Ketika persaudaraan politik itu telah membuat - yang seiman, yang sealmamater, yang satu daerah, yang bertetangga dsb TETAPI BERBEDA PILIHAN, menjadi dimusuhi, dibenci, dijauhi dan tidak ada lagi NILAI-NILAI SILATURRAHMI dan bahkan menjadikanya bak kaum yang sedang berperang, maka sadarilah bahwa kita sudah men-TUHANKAN POLITIK! Orang yang BERBUAT BAIK, orang yng beramal, yang beribadah TIDAK LAGI DINILAI dan DIPANDANG sebagai bagian dari KITA. Semua kita rendahkan, kita hinakan. Dan saking parahnya, hal- hal yang ringan dan lucu yang disampaikan pun tidak lagi membuat kita tertarik, berusaha untuk tidak tertawa atau menahan tawa. Kita tidak lagi mau meng-iya kan, menyetujui, mengakui meski dalam hati kita tahu itu benar adanya. Dalam hal postingan di media sosial misalnya, kalau itu bukan saudara politik kita meski benar, itu dilewati, dicueki, tidak pernah like sama sekali dan tdk akan pernah "like". Ttp bila itu saudara politik kita, apapun yang ditulis, semuanya menjadi suka dan tertarik. MAKA PERSAUDARAAN POLITIK SEPERTI INI, jangankan persamaan almamater, persamaan agamapun TAK LAGI nampak sebagai kesamaan dan perekat. Meski sama- sama shalat ke mesjid, sama-sama shalat malam, sama- sama mengaji, sama- sama ikut pengajian - tetapi karena dia/ mereka berbeda pilihan politik, MEREKA BUKANLAH SAUDARA. Mereka hanyalah orang FASIK, MUNAFIK. Mereka bahkan kita katakan MENJUAL AGAMA. Uuukh... Demikian hebatnya sebuah jalinan dan pemikiran dalam ikatan persaudaraan politik. Maka SESUNGGUHNYA yang kita jalani itu adalah PERSAUDARAAN SAKIT, persaudaran ORANG- ORANG SAKIT! Betapa tidak. Melihat yang bukan saudara politik, mata jadi merah, dada jadi sesak, kepala mulai panas, kening mengkerut dan otak menjadi menyusut. Sakit. Yang kita cari bagaimana menjatuhkan, menyudutkan dari celah yang nampak pada yang bukan saudara politik.

5. SEMOGA JANGAN SAMPAI terjadi demikian di antara kita. BILA sudah ada yang mulai mengarah ke demikian, marilah bersegera MENYADARI, RUBAH dan kembalilah ke KHITTOH. Tidaklah persaudaraan politik dan pilihan politik yang demikian kan menyelamatkan kita dan sudah barang tentu itu tak akan menjadi amal dan nilai ibadah bagi kita.
___________
"Kita tidak akan pernah bisa merubah pandangan dan pemikiran seseorang. Kita mungkin hanya bisa memberi pandangan kita kepadanya dengan memberi sentuhan, dengan data fakta yg kita miliki, dengan cara yang baik lagi santun, sehingga ia kan menelaah atas pandangan kita itu dan lalu merubahnya sendiri.
Tetapi kita sudah pasti tidak akan didengar dan diterima, bila kita memberikannya dengan merendahkan, menyalah-nyalahkan, mempermalukan dan bahkan dengan menebar kebencian, karena sesungguhnya itu bukan cara untuk merubah melainkan sekedar ingin menunjukkan bahwa kita lebih hebat darinya"

Rabu, 03 Juni 2015

Masih Sayang Anak dan Ingin Anak Menjadi Pantang Menyerah ?? ini Tips nya ya Bunda

Anak Lagi Belajar Merangkak
Kalau ini saya dapatkan dari share temen-temen guru sekolah alam (mantan pendiri sekolah alam ciganjur). Saya pikir ini juga penting untuk kemajuan NKRI, Tetapi ini dikhususkan buat para Orang Tua, Pengajar, Pendidik, Guru, Dosen, Mentor, Ustad, atau siapa saja yang memiliki murid atau anak atau peserta didik lainnya.


Tolong jangan bilang anakku “pintar”…. (Fixed Mindset Vs Growth Mindset)
Emangnya kenapa? Kata pujian “anak pintar” itu bukannya sebuah tanda penghargaan ya buat si anak? Plus dobel fungsi jadi topik obrolan basa-basi di ruang tunggu dokter, bangku di toko mainan, dan sambil mengawasi anak-anak main di taman? Triple plus di acara arisan keluarga, saat semua ponakan/cucu/kakak-adik lagi berkumpul bersama.
Lalu, ada apa dengan label “pintar” itu?

Beberapa bulan yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk bantu menterjemahkan artikel pendidikan untuk sebuah program sekolah. Di antara sekian banyak artikel, satu yang benar-benar membuat saya berhenti, membaca berulang-ulang, dan berpikir kembali adalah artikel mengenai fixed vs. growth mindset. Kedua kubu tersebut merupakan bahasan penelitian berjangka yang dilakukan oleh Carol Dweck, yg dipublish dalam bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006).

Dweck meneliti efek jenis pujian yang diberikan ke anak-anak:
satu kelompok dipuji “kepintarannya” (“You must be smart at this.”)
dan kelompok yang lain dipuji atas usaha (effort) mereka (“You must have worked really hard.”) setelah setiap anak menyelesaikan serangkaian puzzle non-verbal secara individual.
Puzzle di ronde pertama memang dibuat sedemikian mudah sehingga setiap anak pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. Setelah dipuji, anak-anak tersebut diberikan pilihan jenis puzzle buat ronde kedua: satu puzzle yang lebih sulit daripada puzzle di ronde pertama, namun mereka akan belajar banyak dari mencoba menyelesaikan puzzle tsb; dan pilihan puzzle lainnya adalah puzzle yang mudah, serupa dengan yang di ronde pertama.

Dari kelompok anak-anak yang dipuji atas usaha mereka, 90% anak-anak memilih rangkaian puzzle yang lebih sulit. Mereka yang dipuji atas kepintarannya sebagian besar memilih rangkaian puzzle yang mudah.

Lho, kenapa anak-anak yang dipuji “pintar” malah memilih puzzle yang mudah??
Menurut Dweck, sewaktu kita memuji anak karena kepintarannya, kita menyiratkan bahwa mereka harus selalu mempertahankan label “anak pintar” tsb, sehingga nggak perlu ambil risiko yang menyebabkan mereka akan berbuat salah alias terlihat “tidak pintar” (“look smart, don’t risk making mistakes.”)
Dalam ronde tes berikutnya, anak-anak itu tidak mempunyai pilihan: mereka semua harus menyelesaikan rangkaian puzzle yang diberikan memang dibuat sulit, 2 tahun di atas usia anak-anak itu. Seperti yang sudah diperkirakan, semua anak gagal menyelesaikannya. Namun, kelompok anak-anak yang dari awal dipuji atas usaha mereka menganggap mereka kurang fokus dan kurang keras upayanya untuk menyelesaikannya. Mereka menjadi sangat terlibat dan berusaha mencoba semua solusi yang dapat mereka pikirkan. Tak banyak dari mereka yang berkomentar bahwa “tes ini adalah yang paling saya sukai”.. kok gitu? Sedangkan kelompok yang dipuji atas kepintarannya menganggap kegagalan mereka sebagai bukti bahwa mereka sebenarnya memang tidak pintar. Tim peneliti mengamati bahwa anak-anak ini berkeringat dan tampak sangat terbebani selama mengerjakan tes.
Nah, setelah semua mengalami kegagalan, pada ronde tes terakhir, mereka diberikan tes yang dibuat semudah tes pada ronde pertama. Kelompok yang dipuji atas usaha mereka mengalami peningkatan skor hingga 30%. Sedangkan anak-anak yang diberitahu bahwa mereka “anak pintar” malah menurun skornya hingga 20%.
sudah curiga bahwa jenis pujian akan memberikan dampak, namun dia tidak menyangka sejauh ini efeknya. Menurutnya, “penekanan pada usaha memberikan anak-anak variabel yang bisa mereka kendalikan, mereka akan menilai bahwa mereka sendirilah yang pegang kendali atas kesuksesan mereka. Sedangkan penekanan pada kecerdasan alami justru mengambil kendali dari tangan anak dan menyebabkan cara berespons yang jelek terhadap sebuah kegagalan.”
Pada wawancara yang dilakukan setelahnya, Dweck menemukan bahwa mereka yang menganggap bahwa kecerdasan alami adalah kunci dari kesuksesan mulai mengecilkan pentingnya upaya yang diberikan. Penalaran mereka adalah “aku kan anak pintar, aku tidak perlu susah-susah berusaha”. Ketika mereka diminta untuk berusaha lebih keras, mereka malah menganggap hal tersebut sebagai bukti bahwa mereka nggak sepintar anggapan mereka. Efek jenis pujian ini terlihat pada penelitian yang dilakukan pada anak-anak pada kelas sosioekonomi yang berbeda-beda, baik pada laki-laki maupun perempuan, bahkan pada anak prasekolah juga menunjukkan adanya pengaruh.
Okay. Nafas dulu. Setidaknya, saya setelah baca hasil penelitiannya harus ambil nafas dan bercermin. Anak sulungku sudah sering dipuji “pintar”, alhamdulillah. Tapi memang pada beberapa kesempatan, dia enggan mencoba hal-hal baru (yang menurutnya susah) dan sempat mudah menyerah ketika mengalami hambatan, misalnya dalam upayanya membuat kreasi Lego sendiri (tanpa instruksi) atau saat dia latihan lagu piano yang lebih susah buat lomba. Kalau menggambar bebas, masih suka frustrasi saat “salah” dan minta ganti kertas atau malah ganti kegiatan yang lain. Oh my little boy, I’m so sorry. I didn’t know. Apalagi dia termasuk anak yang introvert dan lebih mudah cemas. Nah, jelas kan kenapa penelitian ini sangat menohok buat saya.
Meskipun saya dulu pernah baca artikel yang menyebutkan kenapa lebih baik memuji upaya daripada hasil, namun saya baru kali ini membaca penelitian yang terkait. Dan jadi sadar betul betapa besar efeknya jenis pujian yang kita berikan. Namun demikian, old habits die hard. Especially with the older generation. Gimana caranya saya ngasih tau ke mertua kalau mau muji cucunya tersayang, jangan bilang kalau dia “pinter” melainkan harus memuji upaya kerasnya? Padahal budaya kita sangat sarat dengan “label” pada anak-anak, dengan label “anak pintar” menjadi primadona segala label. Belum lagi kebiasaan membandingkan anak satu dengan anak lainnya, cucu satu dengan cucu lainnya. Oh boy, pe-er nya banyak banget ini.
Okay , balik lagi ke konsep growth vs. fixed mindset , jadi intinya anak-anak yang dipuji atas upaya mereka akan memiliki growth mindset, bahwa otak itu adalah sebuah otot, yang makin “dilatih” maka akan semakin kuat dan terampil. Dilatihnya ya dengan tantangan, masalah, dan kesalahan yang harus diperbaiki dan diambil hikmahnya. Sedangkan anak-anak dengan fixed mindset menanggap pintar/tidak pintar itu sudah dari sananya dan nggak bisa diubah. Jadi mereka cenderung menghindari hal-hal yang membuat mereka tidak terlihat pintar dan tidak menyukai tantangan, mementingkan hasil akhirnya.
Dweck memberikan beberapa perbedaan fixed vs. growth mindset dalam bukunya:
a. Fixed mindset (FM)mengkomunikasikan ke anak-anak kalau sifat dan kepribadian mereka adalah permanen, dan kita sedang menilainya. Growth mindset (GM) mengkomunikasikan ke anak-anak kalau mereka adalah seseorang yang sedang tumbuh dan berkembang, dan kita tertarik untuk melihat perkembangan mereka.
b. Nilai yg bagus akan diatribusikan pada “kamu emang anak yang pintar” pada FM. Sedangkan GM akan mengatakan “Nilai yg bagus! Kamu telah berusaha keras/menerapkan strategi yang tepat/berlatih dan belajar/tidak menyerah.”
c. Nilai yang jelek akan diartikan sebagai “kamu memang lemah pada bidang ini” dengan FM. GM akan mengatakan “saya suka upaya yang telah kamu lakukan, tapi yuk kita kerjasama lebih banyak lagi untuk mencari tahu bagian mana yang kamu belum pahami”. “Kita semua punya kecepatan belajar yang berbeda, mungkin kamu butuh waktu yang lebih lama untuk mengerti ini tapi kalau kamu terus berusaha seperti ini, aku yakin kamu akan bisa mengerti.” “Semua orang belajar dengan cara yang berbeda, ayo kita terus berusaha mencari cara yang lebih cocok untuk kamu.”
d. FM: “wah, kamu cepet banget menyelesaikannya, tanpa salah lagi!” GM: “Ooops, ternyata itu terlalu mudah buat kamu ya. Saya minta maaf sudah membuang waktumu, ayo cari sesuatu yang bisa memberikan pelajaran baru buat kamu.”
e. FM mementingkan kecerdasan atau bakat dari lahir. GM mementingkan proses belajar dan kegigihan berusaha (perseverance).
f. FM percaya kalau tes mengukur kemampuan. GM percaya kalau tes mengukur penguasaan materi dan mengindikasikan area untuk pertumbuhan.
g. Guru dengan FM menjadi defensif mengenai kesalahan yang dia lakukan. Guru dengan GM merenungkan kesalahannya secara terbuka dan mengajak bantuan dari anak-anak lagi supaya bisa menyelesaikan masalahnya.
h. Guru dengan FM memiliki semua jawaban. Guru dengan GM menunjukkan ke anak-anak bagaimana dia mencari jawaban-jawaban tersebut.
i. Guru dengan FM menurunkan standar supaya anak-anak bisa merasa pintar. Guru dengan GM mempertahankan standar yang tinggi dan membantu setiap siswa untuk mencapainya.
Hosh-hosh, mulai kelihatan kan bedanya? Kami sudah mulai berusaha mengubah cara kami memuji anak-anak, tapi menang butuh waktu dan upaya ekstra untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama, apalagi dengan lingkungan teman-teman dan saudara dan orang-orang yang tidak dikenal yang SKSD. Plus, kosa kata “you worked hard… ” itu kalau diterjemahakan ke dalam Bahasa Indonesia itu masih terdengar tidak umum plus panjang, “kamu udah bekerja/berupaya keras ya untuk….”--- masih lebih praktis bilang “anak pinter”, hehehe. Yah, namanya juga sudah membudaya. Belum lagi ada ucapan bahwa kata-kata adalah doa. Akupun sepakat dengan itu. Jadi jangan salah sangka, bukannya nggak boleh memuji, tapi pujilah upaya mereka. Dan penelitian ini khusus berkenaan dengan persepsi terhadap kecerdasan ya, bukan label-label lain seperti sholeh/sholehah, rajin, empatik, penyayang, dsb. Jadi pentingnya perubahan mindset dari fixed menjadi growth supaya anak-anak (dan kita sebagai orang tua juga) nggak terpaku hanya pada hasil. Kalau menurut saya, terlalu terpakunya masyarakat kita pada hasil malah melahirkan upaya-upaya negatif untuk mencapai hasil yang “baik” di mata orang, terlepas caranya. Makanya ada bocoran soal UN, contekan ulangan, lalu stress berlebihan atas sebuah kegagalan. Kalau pada anak sulung saya, ya kelihatan pas dia ngambek nggak mau lanjut latihan sebuah lagu di piano karena “susah”, nggak mau nyoba gambar karena takut “jelek”, dan nggak mau nyoba bikin freestyle build dari Lego karena “susah”.
Buat saya, kalau ada yang mengatakan anak-anak “pintar”, maka saya akali dengan langsung menimpali secara halus plus senyum manis dengan komentar atas usahanya anak-anak. Misalnya, tante A, “Wah Little Bug udah pinter main pianonya…”, lalu saya menimpali dengan “Alhamdulillah, Little Bug selama ini rajin latihan dan nggak nyerah kalau belum bisa.” Atau “Little Bug dah pinter ya bacanya” “lalu saya bilang “alhamdulillah, Little Bug tiap hari berusaha baca buku-buku baru dan kalau ada kata-kata yang susah, dia akan berusaha membacanya”. Intinya, nggak pernah lupa untuk memuji usaha/prosesnya. Dan nggak lupa mendoktrin secara berulang tentang otak sebagai otot yang semakin kuat kalau dilatih dengan tantangan. Intinya, menekankan bahwa they are special just the way they are. Bahwa kami bangga karena dia berusaha mencoba meskipun menantang, dan gak menyerah meskipun gagal. Hal-hal seperti itu yang suka tertutup oleh pujian “anak pintar”. Terlebih karena kami homeschool, jadi kelihatan banget gregetnya kalau anak belum bisa maupun kelihatan ketika dia sengaja menghindari sesuatu yang tampak “susah” atau “baru” buat dia, belum lagi kalau ngambek ketika gagal atau hasilnya “nggak perfect”. Jadi ngeh juga, mungkin salah satu alasan kenapa anak-anak Jepang itu begitu rajin adalah karena sejak kecil, pujian setelah melakukan sesuatu umumnya adalah “yoku ganbatta ne” atau “kamu sudah banyak berusaha” dan “otsukaresamadeshita” (terima kasih atas kerja kerasnya), mau apapun hasilnya.
Kita bisa berusaha dan perlahan, insyaaAllah akan lebih positif kepribadian anak-anak kita. Daripada mengeluhkan, mendingan berusaha dan berdoa, semoga Allah bisa membentuk jiwa anak-anak dengan kelembutan-Nya sehingga kelak menjadi anak-anak sholeh/sholehah yang berani menghadapi tantangan demi menghasilkan kebaikan. Semoga artikel ini bisa memberikan sudut pandang yang berbeda buat kita semua.
Referensi:
1. Dweck, Carol. (2006). Mindset: The New Psychology of Success.
2. Bronson, Po. (2007). How Not To Talk to Your Kids: The Inverse Power of Praise. http://nymag.com/news/features/27840/#

10 Kebiasaan Yang Kurang Produktif

maaf agan-agan, saya rasa ini penting untuk kemajuan NKRI, maka saya pikir perlu saya share disini, semoga bermanfaat yaah...

Sebenarnya kebiasaan kurang produktif itu bukan saja merugikan perusahaan, tapi juga diri yang bersangkutan. Banyak karyawan yang karirnya begitu saja, merasa kekuangan waktu, keluarga jadi kurang harmonis karena tidak punya waktu, gara-gara tidak bisa membagi waktunya. Namun, kalau dilihat lebih jauh, persoalannya bukanlah tidak punya waktu, melainkan tidak bisa mengelola waktu, khususnya dengan melakukan hal-hal yang produktif.

Nongkrong di Pinggir Jalan


10 Kebiasaan Kontraproduktif

Ayo, mari kita teliti satu demi satu, apa sajakah hal-hal yang seringkali menghambat produktivitas, khususnya bagi kita di kota-kota besar di Indonesia.

Pertama, datang tanpa rencana ke kantor. Pepatah mengatakan, “If you don’t have your schedule, other people will put their schedule into yours”. Jika kamu tidak punya jadwal, orang lainlah yang akan memasukkan jadwalnya padamu. Saya seringkali melihat orang yang datang ke kantor dan bengong mau ngapain, tiba-tiba temannya yang punya kerjaan mendatanginya dan mengajaknya meeting, meminta bantuan, dan lain-lain. Karena tidak punya rencana yang jelas, dia pun jadi mengerjakan pekerjaan orang lain (hei, bukan berarti kita enggak boleh bantu temen lho ya). Tetapi gara-gara itu, kerjaannya yang penting justru tidak terselesaikan. Ingatlah, tanpa rencana ke kantor itu sama artinya membiarkan fokus  terganggu oleh apapun yang akan terjadi di sekitar. Misal ada obrolan, kita pun jadi ikut nimbrung. Atau, malah duduk membaca koran. Untuk yang satu ini, saran saya sebenarnya sederhana. Setiap kali sebelum pulang, tempelkan post it notes yang berisi hal-hal yang hendak dikerjakan keesokan harinya di kantor.

Kedua, tidak rapi. Akibatnya, waktu untuk kerja habis hanya untuk mencari berbagai hal penunjang kerja (barang, file, dokumen, dan lain-lain). Ini biasanya akibat pribadi yang tidak rapi (clumsy). Pasti pernah mengalaminya bukan?

Ketiga, rutinitas pribadi yang justru memakan waktu banyak, tanpa disadari. Misalnya merokok, ngeteh atau minum kopi, merapikan diri, dan bersih-bersih, yang ternyata jadi berkepanjangan. Sebagai contoh, ada yang punya kebiasaan merokok sampai 30 menit lebih ataupun berdandan hingga hampir 30 menit. Waktunya diboroskan tanpa banyak kesempatan melakukan hal yang penting. Hati-hatilah dengan kebiasaan ataupun ritual pribadimu (yang lamaaaaa banget!). Lain kali, kalaupun mau melakukan ritual pribadi, tentukan dan batasilah waktumu. Itu akan membuat waktumu lebih efektif.

Keempat, godaan menjelajah internet tanpa sasaran yang jelas. Berhati-hatilah agar diri kita tidak menjadi cyber zombie. Pernah kan melihat tampang orang yang kelamaan menjelajah di internet? Wajahnya kayak zombie, menatap layar dengan wajah datar serta dengan tatapan kosong? Itulah cyber zombie. Andapun dapat menjadi cyber zombie dan waktu Anda pun menjadi sangat tidak produktif lantaran menjelajah internet, dari satu situs ke situs lain, jika dilakukan tanpa arah yang jelas. Untuk itu, fokuslah. Tatkala mau menjelajah internet, katakan “Hanya fokus untuk mencari data ini!”. Kalaupun Anda menemukan website yang memang bagus, catat saja. Jangan tergoda memenuhi keingintahuan saat itu juga. Luangkan di lain kesempatan untuk membuka. Percayalah, menjelajah internet tanpa arah yang jelas adalah salah satu cara membuang-buang waktu, kecuali kalau kamu memang kurang kerjaan, kebosanan, atau tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan. Namun, sungguh kurang bijak menjelajah internet tanpa arah, sementara banyak pekerjaan kantor yang masih menunggu untuk diselesaikan!

Kelima, ngobrol yang kebablasan. Memang, kita di Indonesia terkenal suka ngobrol. Sebenarnya sih ini kebiasaan bersosialisasi yang baik. khususnya bila dibandingkan dengan masyarakat yang sering tidak mau peduli sama sekali. Hanya sayangnya, waktu ngobrol ini sering kurang tepat. Kadangkala, jam kerja di kantor dipakai untuk curhat ataupun ngegosip yang tidak terbatasi waktunya. Akibatnya waktu jadi terbuang percuma.

Keenam, jika Anda termasuk terobsesi cek email dan gadget yang terlalu sering, hati-hatilah! Lain ceritanya kalau pekerjaan Anda terkait dengan sales yang mengandalkan panggilan orang ataupun memang perlu mengecek email atau pesan terus-menerus. Masalahnya, kadang banyak di antara panggilan ataupun message yang Anda terima justru bukanlah yang penting, yang harus segera direspon. Kalau sudah demikian, berarti bisa menunggu. Jangan terhinggapi penyakit gadget obsession ­yang bisa jadi mengecek BBM, WA atau SMS setiap 2 menit sekali! Kalau sudah terdistraksi (terganggu), biasanya untuk fokus lagi akan jadi susah. Bijaksanalah mengecek message ataupun gadget Anda.

Ketujuh, kebiasaaan update status media sosial yang terlalu rutin.  Ini bisa jadi semacam obsesi juga. Kadang, ada orang yang merasa dirinya begitu penting, seperti seorang ‘self celebrity’ yang perlu update status sehingga orang lain perlu tahu apa yang dia kerjakan terus-menerus. Oleh karena itu, untuk yang satu inipun Anda harus menjadwalkan waktu. Kalaupun merasa perlu update sosmed, belajarlah untuk kasih waktu yang rutin. Lagipula kalau kepingin, Anda bisa menggunakan model schedule (yang terjadwal dan bisa diprogramkan) untuk mengunggah.

Kedelapan adalah aktivitas remeh temeh yang ternyata menghabiskan waktu seperti menunggu orang, bikin teh-kopi, menunggu barang atau dokumen, dan lain-lain. Saya pernah melakukan suatu dokumentasi untuk melihat berapa banyak waktu remeh temeh yang saya habiskan. Ternyata, jika menit demi menit yang kecil untuk hal remeh temeh itu dijumlahkan, hasilnya lumayan banyak. Berhati-hatilah dengan hal-hal remeh temah yang terkadang bisa menghabiskan banyak dari waktumu.

Kesembilan, tidak bisa berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang jelas menghabiskan waktu. Kadangkala karena takut membuat orang lain tersinggung, kecewa ataupun jengkel, Anda membiarkan diri Anda melakukan ataupun terlibat dalam aktivitas yang sebenarnya memboroskan waktu dengan seseorang. Misalnya obrolan berkepanjangan di telepon yang seharusnya Anda stop ataupun meeting yang bertele-tele. Seharusnya, kalau ingin menjadi lebih produktif, beranilah mengatakan tidak kepada berbagai aktivitas ataupun ajakkan yang menurut Anda memang tidak produktif.

Kesepuluh adalah aktivitas hobi yang dihabiskan di kantor. Kebiasaan main game, adalah salah satu contohnya. Bisa juga aktivitas seperti online shopping di saat-saat jam kantor ataupun download file yang tidak ada hubungannya dengan kerjaan kantor, yang ternyata menghabiskan waktu Anda.

Maka dari itu, mulai sekarang waspadailah kesepuluh penghancur produktivitas di atas yang bisa merampas banyak waktu produktifmu. Sekali lagi, banyak orang komplain karena merasa tidak punya waktu untuk keluarga, untuk anak, dan lain-lain. Jangan-jangan Anda bukannya tidak punya waktu tetapi tidak mampu mengelola waktu Anda!



Penulis:

Anthony Dio Martin
Direktur HR Excellency, ahli psikologi, speaker, penulis buku-buku best seller, host program Smart Emotion di radio SmartFM Jakarta.